Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Banda Aceh | suara-aceh.com- Bangsa yang besar selalu ditopang oleh pemikir, penulis, dan pendidik. Mereka bukan sekadar orang yang menulis buku atau artikel, tetapi sesungguhnya adalah pendidik rakyat yang menyalakan api pengetahuan di tengah gelapnya kebodohan.
Menjaga nama baik pemikir dan penulis sama dengan menjaga harga diri masyarakat. Bila sebuah bangsa merawat tokoh literasinya, bangsa itu akan dihormati. Sebaliknya, bila yang diagungkan hanyalah tokoh politik berpikir pendek atau tokoh bersenjata, maka itu simbol kebodohan—dan dunia pun akan menilai masyarakat tersebut sebagai bangsa yang rendah.
---
Sejarah Membuktikan: Literasi Mengangkat Peradaban
1. Islam dan Ulama Penulis
Pada masa keemasan Islam, para ulama yang menulis kitab dianggap pahlawan. Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd—mereka bukan pemegang senjata, tetapi pemegang pena. Umat Islam dihormati dunia karena literasi mereka melahirkan ilmu filsafat, kedokteran, matematika, hingga politik.
Rasulullah SAW juga menegaskan: “Apabila suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah kehancuran.” Artinya, peradaban hanya bisa maju bila yang dihormati adalah ahli ilmu, bukan ahli senjata semata.
2. Jepang dan Guru
Jepang setelah kalah perang justru bangkit bukan karena jenderal, tetapi karena menghormati guru. Di Jepang ada pepatah: “Guru lebih mulia dari kaisar.” Karena guru lah yang mencetak manusia berilmu. Maka tidak heran Jepang bisa bertransformasi dari negara hancur menjadi kekuatan dunia.
3. Eropa dan Penulis
Eropa bangkit dari abad kegelapan bukan karena raja atau ksatria, melainkan karena para penulis, filsuf, dan ilmuwan: Descartes, Voltaire, Galileo, Newton. Buku dan tulisan mereka mengguncang dunia, melawan dogma, dan melahirkan demokrasi modern.
---
Kesalahan Besar: Mengagungkan Tokoh Bodoh
Banyak masyarakat yang justru salah memilih simbol kebanggaan. Mereka mengangkat tokoh politik yang berpikir pendek atau tokoh bersenjata sebagai panutan. Padahal, bila rakyat mengagungkan orang bodoh, maka:
Walau ada orang pintar di daerah itu, citra masyarakat tetap dinilai bodoh.
Dunia menilai suatu bangsa dari siapa yang mereka angkat sebagai pahlawan.
Kebodohan diwariskan, karena generasi muda kehilangan contoh pemikir yang bisa diteladani.
Akibatnya, masyarakat akan terus terjebak dalam lingkaran kebodohan dan tidak dihormati bangsa lain.
---
Jalan Keluar: Hormati Pahlawan Literasi
Angkat pemikir dan penulis sebagai panutan.
Mereka adalah cahaya yang membimbing rakyat.
Rawat nama baik mereka.
Bila pemikir dihina, sesungguhnya yang terhina adalah masyarakatnya.
Jadikan mereka simbol kehormatan.
Dunia akan menilai tinggi bangsa yang menghormati pemikir.
---
Kesimpulan
Pahlawan sejati bukan mereka yang memegang senjata, melainkan mereka yang memegang pena. Pahlawan literasi adalah pahlawan sejati rakyat.
Masyarakat yang ingin maju harus berani merawat, menghormati, dan mengangkat pemikir serta penulis. Dari merekalah lahir gagasan, ilmu, dan kesadaran. Tanpa mereka, rakyat hanya akan jadi massa bodoh yang mudah diperalat.
Bangsa besar adalah bangsa yang menghormati penulisnya. Bangsa kecil adalah bangsa yang mengagungkan orang bodoh.
Penulis merupakan Presidium Organisasi Aceh Untuk Dunia Gobal Aceh Awakening (GAA).

