Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Banda Aceh|suara-aceh.com- Perdamaian seharusnya menjadi hasil dari kesadaran bersama, bukan hasil dari strategi penjinakan politik. Namun pola yang pernah terjadi di Aceh kini mulai terlihat di Papua, kekuasaan menukar hak rakyat dengan kedamaian semu, damai yang tidak lahir dari demokrasi, melainkan dari pengendalian.
Kita harus jujur melihat sejarah.
Di Aceh, benih perdamaian lahir saat demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) menjadi pusat kesadaran nasional. Tahun 2004 hingga 2006 adalah masa ketika ruang dialog terbuka lebar, ketika rakyat masih berani berpikir merdeka dan berbicara tanpa takut. Pemerintah Indonesia saat itu memahami bahwa senjata tak bisa mengalahkan pikiran yang ingin merdeka.
Tapi pola itu berubah menjadi rumus politik: jinakkan dengan jabatan, tenangkan dengan otonomi terbatas, bungkam dengan fasilitas.
Demokrasi mulai dikerdilkan menjadi alat negosiasi, bukan lagi jalan pembebasan.
Menteri HAM saat itu, Hasballah M. Saad — seorang putra Aceh — menjadi kunci terbukanya ruang perdamaian. Ia memahami bahwa kunci mengakhiri konflik bukan peluru, tapi penghormatan terhadap HAM dan keberanian berdialog.
Kini kita melihat pola serupa: ketika Papua bergolak, yang dipilih menjadi Menteri HAM pun adalah putra Papua.
Apakah ini kebetulan? Tidak. Ini pola.
Setelah “tenang”, yang diberikan bukan kesadaran, tapi kursi kekuasaan sementara — cukup untuk membungkam aspirasi, tapi tidak cukup untuk membangun kemandirian. Dan ketika kursi itu berakhir, rakyat kembali ke posisi semula: bergantung, takut, dan terpecah.
Apakah ini pembangunan?
Tidak. Ini pemeliharaan bangsa budak.
Bangsa yang dijaga agar tenang, tapi tidak pernah dimerdekakan pikirannya. Bangsa yang diberi ruang bicara, tapi tidak diberi hak menentukan arah.
Dari Aceh ke Papua, pola ini terus berulang.
Demokrasi dibiarkan hidup tapi tak pernah tumbuh. HAM dijadikan simbol tapi tidak dijalankan.
Dan rakyat hanya dijadikan penonton dari panggung kekuasaan yang mereka biayai sendiri.
Sudah saatnya kita berhenti menyebut pola ini sebagai pembangunan.
Karena pembangunan sejati bukanlah membuat rakyat tunduk, tapi membuat mereka berani berpikir, berani bersuara, dan berani menolak diperbudak dengan nama damai.
Penulis adalah Ketua Aceh Bangkit (Global Aceh Awakening)

